 |
| Add caption |
Ketika Kampus Dise
rbu
User Rating: / 0
KurangBagus
Rubrikasi - Politik
Oleh Joost W.M, Rima making, Aufrida Hariyoso
Sabtu, 05 November 2011 08:15
“Kongres Rakyat Papua III,” berakhir ricuh, ketika aparat polisi dan Brimob yang dibantu tentara menyerbu lapangan dan kompleks Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur. Kampus pun terkena imbas.
SEKITAR pukul 09.00 pagi, aparat polisi, Brimo dan TNI dengan kendaraan perang (panser, mobil patroli dan truk), lengkap dengan senjata siaga di sepanjang jalan Sosiri, Yakonde hingga belakang kampus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur. Kedua jalan mengapit kompleks misi Katolik.
Sekitar pukul 11.00 siang, sepasukan tentara bersenjata lengkap, tanpa izin, memasuki kampus STFT dan kompleks hunian mahasiswa (Seminari Tinggi Interdiosesan) dari arah gunung (belakang seminari). Mereka beristirahat di pondok serbaguna. Sejumlah mahasiswa yang bereaksi terhadap kehadiran tentara, meminta mereka tidak memasuki area seminari dan kampus. Mendapat teguran, para tentara menarik diri dan berbalik lagi ke arah gunung.
Sekitar pukul 15.30 sore, sejumlah aparat keamanan memasuki asrama-asrama hunian para frater (calon pastor) yang kuliah di STFT. Mereka mencari massa dan peserta kongres yang menyelamatkan diri. Kaca pintu kamar belajar dan kamar tidur depan salah satu asrama hunian frater dari Keuskupan Agats, dihancurkan, isi ruang komputer diobrak-abrik. “Bawa itu komputer sebagai barang bukti,” seru salah satu aparat. Para frater yang panik dan ketakutan bersembunyi (tiarap) di kamar belakang.
Peserta kongres yang berlindung di kamar mandi, sepertinya ditangkap. Ada bentakan, “lari…, tembak…!” Ketika pasukan hendak menggerebek kamar belakang, tempat persembunyian frater, terdengar perintah: “Ada batas! Ada batas! Hentikan tindakan! Mundur!” Lalu sepi. Para mahasiswa itu keluar dari ruangan dan berlari ke rumah dosen imam. Sesampai di ruang minum dosen imam, baru mereka menyadari, salah satu rekan mereka tertinggal. Ia terguncang dan tidak mampu bangkit dari persembunyian. Ia kemudian dipapah keluar untuk berjalan.
Di ruang belajar Pembantu Ketua (Puket) III, sekaligus Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan, Pater John Jehuru, OSA, sebuah peluru menembus kaca jendela. Saat itu, ia sedang mengawasi kericuhan di Lapangan Zakeus dari jendela. Peluru itu menembus kaca nako dan gorden, memantul di dinding kamar dan jatuh di atas meja kerjanya. Peluru melesat hanya beberapa sentimeter dari John.
Di asrama para frater Keuskupan Manokwari, aparat yang menyisir peserta kongres, mengumpat: “Apa ini rumah misi? Mana itu pastor-pastor? Pastor-pastor bodok! Pastor baru, sembunyikan penjahat!”
Di asrama frater Keuskupan Agung Merauke, aparat menangkap mahasiswa, Agus Alua, di pinggir asrama. Kaca nako jendela tertembus peluru. Aparat yang memasuki asrama, datang dari arah gunung di belakang seminari, sambil menembak.
Di kompleks perumahan dosen, aparat “memburu” peserta kongres dan menyemburkan gas air mata. Di salah satu rumah yang dimasuki aparat, seorang ibu tiarap di kolong tempat tidur. “Siapa kamu?” tanya aparat. “Saya penghuni rumah!” jawab si ibu. “Keluarlah, jangan takut!” kata aparat. Si ibu keluar sambil mengusap matanya yang perih.
Di biara Fransiskan Sang Surya, banyak peserta kongres menyembunyikan diri, termasuk Forkorus Yaboisembut (Ketua Dewan Adat Papua) dan Dominikus Sorabut yang, kini dijadikan tersangka. Pater Gonsa Saur, OFM, pimpinan biara terbangun karena bunyi tembakan. Ia mengenakan jubah Fransiskan, lalu keluar dan berdiri di tangga.
Ia mencoba mencegah tiga aparat beraseragam dan sejumlah lainnya, yang berpakaian sipil, yang mendesak masuk rumah. Ada yang bersenjata laras panjang, ada yang hanya pistol. Aparat yang berpakaian sipil menerobos masuk ruang makan dan tamu. Karena ditekan aparat, Pater Gonsa akhirnya meminta mereka yang bukan penghuni rumah keluar.
Beberapa orang keluar, sementara yang lainnya tetap bertahan. “Kamu boleh membawa mereka, tetapi jangan pukul,” pinta Pater Gonsa. Di depannya, memang mereka tidak dipukul, tapi begitu sudah di jalan keluar, mereka disiksa. Forkorus digiring dengan kasar dan dibentak enam aparat berpakaian sipil dengan senjata. Salah satu perempuan ikut ditarik keluar dari biara.
Seorang aparat menerobos ke lantai dua. Pater Gonsa memintanya turun. Sejumlah orang (sekitar 10) kemudian keluar dan menyerahkan diri. Mereka diperintahkan turun dengan cara berjongkok. Di antara mereka, terdapat tiga perempuan. Di luar gedung, banyak aparat berseragam dan berpakaian sipil dengan senjata hilir-mudik.
Banyak peserta kongres juga berlindung di Seminari Yohanes Maria milik Keuskupan Jayapura. Tiga kali aparat menodongkan senjata ke kepala Yan You, Pr, pemimpin seminari. “Kamu sembunyikan mereka?” gertak aparat. “Bunuh saya saja, tembak, ayo!” kata Pater Yan. Aparat mendobrak pintu, memasuki ruangan dan menggiring orang-orang keluar.
Sementara para frater menghimpun peserta kongres yang kocar-kacir menyelamat diri di aula. Frater-frater juga mengikhlaskan kamar-kamar mereka sebagai tempat perlindungan. Mereka mengenakan jubah dan berusaha mengamankan peserta kongres.
Namun, ketika aparat datang, beberapa peserta menyerahkan diri dan digelandang keluar. Para frater meminta pengertian aparat untuk tidak mempelakukan mereka kasar. Salah seorang frater yang berusaha menolang orang-orang yang tertembak, dipukul dengan senjata dan pentungan hingga tulang tangannya retak, dan hidungnya bengkak. Dia ikut ditahan semalam di tahanan Polda, dan kini sedang menjalani perawatan rumah sakit.
Saat penyerbuan, sejumlah peserta dan anggota Petapa (Penjaga Tanah Papua) berlari dari arah belakang ruang kuliah, gedung perpustakaan dan mencoba masuk ruang minum dosen, namun terhalang oleh pintu yang terkunci. Mereka merusak dua kaca lover ruang minum. Lalu, berhamburan ke arah gunung, tapi dihadang dengan tembakan dari atas. Mereka lalu berbalik ke semak-semak, ke arah semula.
Joost W. Mirino, Rima Making, Alfrida Hariyoso
Boks
Semata Alasan Kemanusiaan
Kompleks misi Katolik terdiri dari Persekolahan SMP YPPK Santo Paulus dan perumahan guru, asrama mahasiswi dan susteran YMY, perumahan dosen dan karyawan STFT, biara Fransiskan Sang Surya, Asrama Tunas Harapan, Lapangan Zakeus (tempat berlangsung kongres), Seminari Tinggi Yohanes Vianey milik Keuskupan Jayapura, Asrama mahasiswaTauboria, Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru milik lima Keuskupan se-Tanah Papua, Kampus STFT Fajar Timur, perumahan dosen imam, gedung gereja, aula makan dan gedung-gedung lain.
Iziin penggunaan Lapangan Zakeus diberikan semata dilatari alasan kemanusiaan dan tidak ada hubungannya dengan dukungan politik sebagaimana yang mungkin diinterperatsikan aparat keamanan.
Akibat penyerbuan, Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalam Baru dan STFT Fajar Timur mengalami kerugian material dan non-material. Sejumlah kaca pintu dan jendela hancur, CPU hilang, tropi dan kursi rusak, arit dan pisau hilang, pot-pot bunga berserakan.
Salah satu mahasiswa dirawat di rumah sakit karena wajahnya mengalami pembengkakan serius. Para frater masih cemas dan trauma.
Namun, pihak STFT tidak menuntut ganti rugi pengrusakan dan penghilangan fasilitas. “Gedung dan kaca dapat diganti, tetapi perasaan takut dan cemas membutuhkan waktu lama untuk pulih,” sebut siaran pers sekolah tinggi ini pada 26 Oktober 2011. STFT juga tidak menuntut biaya pengobatan untuk frater yang sedang berobat di rumah sakit. Kecuali menolak tegas tindakan represif mengatasi masalah yang, ‘’merendahkan martabat kemanusiaan, tak cuma bagi korban, tapi juga pelaku.”
Pihak sekolah tinggi menyesalkan pelanggaran kebebasan akademis oleh aparat keamanan yang menyerbu kampus dengan senjata, tanpa izin dan surat pemberitahuan lebih dulu. Juga anggapan keliru bahwa para frater dan pater berlaku salah melindungi orang-orang yang diburu aparat keamanan. Padahal, hal itu merupakan kewajiban kemanusiaan universal: memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap nyawa manusia yang terancam; tidak bersangkut-paut dengan politik.
Atas kekerasan aparat keamanan, pihak STFT memohon penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sesuai pidato Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2011: menata Papua dengan hati, pihak STFT mendukung dialog Jakarta-Papua. Dialog yang bukan saja bisa mengakhiri kekerasan, tapi juga untuk mencegah berulangnya tidakan kekerasan di Tanah Papua.
Pihak STFT juga memohon dukungan dan solidaitas dari anggota gerera Katolik di seluruh dunia demi berlangsungnya dialog.