papua

papua
orang papua pada zaman dahulu

Selasa, 15 November 2011

puncak jaya masih bergejolak

Nasional

Puncak Jaya Papua Masih Bergolak
Anggota kelompok separatis menyerang dengan tembakan sporadis.
Rabu, 26 Oktober 2011, 16:12 WIB
Ita Lismawati F. Malau
Kota Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya, Papua (Antara/ Marcelinus Kelen)
BERITA TERKAIT

* Penembakan, Polisi Papua Diminta Berkelompok
* Kapolsek Mulia Dominggus Dimakamkan Hari Ini
* Polri Berhasil Identifikasi Penembak di Papua
* Polri: Puncak Jaya Siaga 1, Papua Waspada
* Brimob Amankan Puncak Jaya dan Paniai

VIVAnews - Pasca penembakan Kapolsek Mulia, Puncak Jaya dan pembakaran Kantor Ketahanan Pangan Puncak Jaya, baku tembak antara aparat keamanan dengan kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) masih berlangsung.

"Sampai sekarang masih ada serangan dari kelompok separatis dengan cara menembak secara sporadis," kata Kapolda Papua Irjen Pol BL Tobing usai pemakaman Kapolsek Mulia, Komisaris Anumerta Dominggus Otto Awes, Rabu 26 Oktober 2011.

Usai melepaskan tembakan, ungkap Kapolda, anggota separatis langsung masuk ke hutan. Dengan pertimbangan ini, Polda menetapkan Siaga I untuk Puncak Jaya.

Kepolisian terus berupaya mengejar pelaku separatis yang menganggu keamanan Papua belakangan ini. Namun, Kapolda mengakui kendala lapangan dalam pengejaran tersebut. Sulitnya medan dan suhu ekstrim menghambat pengejaran kelompok ini. Apalagi, para pelaku sangat menguasai medan. "Dibantu TNI, polisi masih terus memburu pelaku penembak dan perampas senjata api milik Kapolsek Mulia."

Kapolda juga mengakui adanya penambahan pasukan Brimob ke puncak Jaya. "Ada sekitar 260 personil yang didatangkan ke Papua, tapi tidak semuanya ke Puncak Jaya, sebagian dikirim ke Paniai karena di sana juga basis kelompok separatis," tukasnya.

Sementara itu Juru Bicara Polda Papua Kombes Wachyono mengaku belum tahu jaringan mana yang telah menyerang kapolsek Senin lalu.

Jenazah Dominggus Awes dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Trikora Waena, dan prosesi pemakaman dipimpin langsung Kapolda Papua. Suasana duka menyelimuti lokasi pemakaman terutama keluarga korban dan kesatuannya polisi. (Laporan: Banjir Ambarita, Papua)
• VIVAnews
Add caption
Ketika Kampus Diserbu
User Rating: / 0
KurangBagus
Rubrikasi - Politik
Oleh Joost W.M, Rima making, Aufrida Hariyoso
Sabtu, 05 November 2011 08:15

“Kongres Rakyat Papua III,” berakhir ricuh, ketika aparat polisi dan Brimob yang dibantu tentara menyerbu lapangan dan kompleks Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur. Kampus pun terkena imbas.

SEKITAR pukul 09.00 pagi, aparat polisi, Brimo dan TNI dengan kendaraan perang (panser, mobil patroli dan truk), lengkap dengan senjata siaga di sepanjang jalan Sosiri, Yakonde hingga belakang kampus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur. Kedua jalan mengapit kompleks misi Katolik.

Sekitar pukul 11.00 siang, sepasukan tentara bersenjata lengkap, tanpa izin, memasuki kampus STFT dan kompleks hunian mahasiswa (Seminari Tinggi Interdiosesan) dari arah gunung (belakang seminari). Mereka beristirahat di pondok serbaguna. Sejumlah mahasiswa yang bereaksi terhadap kehadiran tentara, meminta mereka tidak memasuki area seminari dan kampus. Mendapat teguran, para tentara menarik diri dan berbalik lagi ke arah gunung.

Sekitar pukul 15.30 sore, sejumlah aparat keamanan memasuki asrama-asrama hunian para frater (calon pastor) yang kuliah di STFT. Mereka mencari massa dan peserta kongres yang menyelamatkan diri. Kaca pintu kamar belajar dan kamar tidur depan salah satu asrama hunian frater dari Keuskupan Agats, dihancurkan, isi ruang komputer diobrak-abrik. “Bawa itu komputer sebagai barang bukti,” seru salah satu aparat. Para frater yang panik dan ketakutan bersembunyi (tiarap) di kamar belakang.

Peserta kongres yang berlindung di kamar mandi, sepertinya ditangkap. Ada bentakan, “lari…, tembak…!” Ketika pasukan hendak menggerebek kamar belakang, tempat persembunyian frater, terdengar perintah: “Ada batas! Ada batas! Hentikan tindakan! Mundur!” Lalu sepi. Para mahasiswa itu keluar dari ruangan dan berlari ke rumah dosen imam. Sesampai di ruang minum dosen imam, baru mereka menyadari, salah satu rekan mereka tertinggal. Ia terguncang dan tidak mampu bangkit dari persembunyian. Ia kemudian dipapah keluar untuk berjalan.

Di ruang belajar Pembantu Ketua (Puket) III, sekaligus Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan, Pater John Jehuru, OSA, sebuah peluru menembus kaca jendela. Saat itu, ia sedang mengawasi kericuhan di Lapangan Zakeus dari jendela. Peluru itu menembus kaca nako dan gorden, memantul di dinding kamar dan jatuh di atas meja kerjanya. Peluru melesat hanya beberapa sentimeter dari John.

Di asrama para frater Keuskupan Manokwari, aparat yang menyisir peserta kongres, mengumpat: “Apa ini rumah misi? Mana itu pastor-pastor? Pastor-pastor bodok! Pastor baru, sembunyikan penjahat!”

Di asrama frater Keuskupan Agung Merauke, aparat menangkap mahasiswa, Agus Alua, di pinggir asrama. Kaca nako jendela tertembus peluru. Aparat yang memasuki asrama, datang dari arah gunung di belakang seminari, sambil menembak.

Di kompleks perumahan dosen, aparat “memburu” peserta kongres dan menyemburkan gas air mata. Di salah satu rumah yang dimasuki aparat, seorang ibu tiarap di kolong tempat tidur. “Siapa kamu?” tanya aparat. “Saya penghuni rumah!” jawab si ibu. “Keluarlah, jangan takut!” kata aparat. Si ibu keluar sambil mengusap matanya yang perih.

Di biara Fransiskan Sang Surya, banyak peserta kongres menyembunyikan diri, termasuk Forkorus Yaboisembut (Ketua Dewan Adat Papua) dan Dominikus Sorabut yang, kini dijadikan tersangka. Pater Gonsa Saur, OFM, pimpinan biara terbangun karena bunyi tembakan. Ia mengenakan jubah Fransiskan, lalu keluar dan berdiri di tangga.

Ia mencoba mencegah tiga aparat beraseragam dan sejumlah lainnya, yang berpakaian sipil, yang mendesak masuk rumah. Ada yang bersenjata laras panjang, ada yang hanya pistol. Aparat yang berpakaian sipil menerobos masuk ruang makan dan tamu. Karena ditekan aparat, Pater Gonsa akhirnya meminta mereka yang bukan penghuni rumah keluar.

Beberapa orang keluar, sementara yang lainnya tetap bertahan. “Kamu boleh membawa mereka, tetapi jangan pukul,” pinta Pater Gonsa. Di depannya, memang mereka tidak dipukul, tapi begitu sudah di jalan keluar, mereka disiksa. Forkorus digiring dengan kasar dan dibentak enam aparat berpakaian sipil dengan senjata. Salah satu perempuan ikut ditarik keluar dari biara.

Seorang aparat menerobos ke lantai dua. Pater Gonsa memintanya turun. Sejumlah orang (sekitar 10) kemudian keluar dan menyerahkan diri. Mereka diperintahkan turun dengan cara berjongkok. Di antara mereka, terdapat tiga perempuan. Di luar gedung, banyak aparat berseragam dan berpakaian sipil dengan senjata hilir-mudik.

Banyak peserta kongres juga berlindung di Seminari Yohanes Maria milik Keuskupan Jayapura. Tiga kali aparat menodongkan senjata ke kepala Yan You, Pr, pemimpin seminari. “Kamu sembunyikan mereka?” gertak aparat. “Bunuh saya saja, tembak, ayo!” kata Pater Yan. Aparat mendobrak pintu, memasuki ruangan dan menggiring orang-orang keluar.

Sementara para frater menghimpun peserta kongres yang kocar-kacir menyelamat diri di aula. Frater-frater juga mengikhlaskan kamar-kamar mereka sebagai tempat perlindungan. Mereka mengenakan jubah dan berusaha mengamankan peserta kongres.

Namun, ketika aparat datang, beberapa peserta menyerahkan diri dan digelandang keluar. Para frater meminta pengertian aparat untuk tidak mempelakukan mereka kasar. Salah seorang frater yang berusaha menolang orang-orang yang tertembak, dipukul dengan senjata dan pentungan hingga tulang tangannya retak, dan hidungnya bengkak. Dia ikut ditahan semalam di tahanan Polda, dan kini sedang menjalani perawatan rumah sakit.

Saat penyerbuan, sejumlah peserta dan anggota Petapa (Penjaga Tanah Papua) berlari dari arah belakang ruang kuliah, gedung perpustakaan dan mencoba masuk ruang minum dosen, namun terhalang oleh pintu yang terkunci. Mereka merusak dua kaca lover ruang minum. Lalu, berhamburan ke arah gunung, tapi dihadang dengan tembakan dari atas. Mereka lalu berbalik ke semak-semak, ke arah semula.

Joost W. Mirino, Rima Making, Alfrida Hariyoso

Boks

Semata Alasan Kemanusiaan

Kompleks misi Katolik terdiri dari Persekolahan SMP YPPK Santo Paulus dan perumahan guru, asrama mahasiswi dan susteran YMY, perumahan dosen dan karyawan STFT, biara Fransiskan Sang Surya, Asrama Tunas Harapan, Lapangan Zakeus (tempat berlangsung kongres), Seminari Tinggi Yohanes Vianey milik Keuskupan Jayapura, Asrama mahasiswaTauboria, Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru milik lima Keuskupan se-Tanah Papua, Kampus STFT Fajar Timur, perumahan dosen imam, gedung gereja, aula makan dan gedung-gedung lain.

Iziin penggunaan Lapangan Zakeus diberikan semata dilatari alasan kemanusiaan dan tidak ada hubungannya dengan dukungan politik sebagaimana yang mungkin diinterperatsikan aparat keamanan.

Akibat penyerbuan, Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalam Baru dan STFT Fajar Timur mengalami kerugian material dan non-material. Sejumlah kaca pintu dan jendela hancur, CPU hilang, tropi dan kursi rusak, arit dan pisau hilang, pot-pot bunga berserakan.

Salah satu mahasiswa dirawat di rumah sakit karena wajahnya mengalami pembengkakan serius. Para frater masih cemas dan trauma.

Namun, pihak STFT tidak menuntut ganti rugi pengrusakan dan penghilangan fasilitas. “Gedung dan kaca dapat diganti, tetapi perasaan takut dan cemas membutuhkan waktu lama untuk pulih,” sebut siaran pers sekolah tinggi ini pada 26 Oktober 2011. STFT juga tidak menuntut biaya pengobatan untuk frater yang sedang berobat di rumah sakit. Kecuali menolak tegas tindakan represif mengatasi masalah yang, ‘’merendahkan martabat kemanusiaan, tak cuma bagi korban, tapi juga pelaku.”

Pihak sekolah tinggi menyesalkan pelanggaran kebebasan akademis oleh aparat keamanan yang menyerbu kampus dengan senjata, tanpa izin dan surat pemberitahuan lebih dulu. Juga anggapan keliru bahwa para frater dan pater berlaku salah melindungi orang-orang yang diburu aparat keamanan. Padahal, hal itu merupakan kewajiban kemanusiaan universal: memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap nyawa manusia yang terancam; tidak bersangkut-paut dengan politik.

Atas kekerasan aparat keamanan, pihak STFT memohon penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sesuai pidato Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2011: menata Papua dengan hati, pihak STFT mendukung dialog Jakarta-Papua. Dialog yang bukan saja bisa mengakhiri kekerasan, tapi juga untuk mencegah berulangnya tidakan kekerasan di Tanah Papua.

Pihak STFT juga memohon dukungan dan solidaitas dari anggota gerera Katolik di seluruh dunia demi berlangsungnya dialog.

kongres tegakan hak orang asli papua

Kongres Tegakan Hak Orang Asli Papua
User Rating: / 0
KurangBagus
Rubrikasi - Politik
Oleh Rima Making, Alfonsa Wayap
Sabtu, 01 Oktober 2011 05:44

Kongres Ketiga rakyat Papua akan digelar pada Oktober mendatang, dengan tema mari kita menegakkan hak-hak dasar orang asli Papua di masa kini dan masa depan.



DAN sub temanya “membangun pemahaman secara jujur, adil, dan menyeluruh demi penegakan hak-hak dasar orang asli Papua, termasuk hak politik di masa depan yang lebih baik, maju, adil, demokratis, aman, damai, sejahtera, dan bermartabat”.

Kongres ketiga rakyat Papua yang akan dilaksanakan pada 16 – 19 Oktober 2011 mendatang merupakan bagian dari proses pendemokratisasi di Indonesia, yang dijamin oleh hukum internasional dan nasional Indonesia.

Kongres rakyat Papua juga sebagai upaya pemenuhan hak azasi manusia dari setiap warga negara Indonesia. Dalam hukum HAM, negara melalui pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban. Ada tiga bentuk kewajiban yang diemban negara dalam memenuhi hak demokrasi setiap warga negara adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi.

Kewajiban untuk menghormati adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi. Kewajiban negara untuk melindungi adalah kewajiban untuk melindungi hak. Dalam hal ini kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan negara. Kewajiban untuk memenuhi adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM.

Menurut Tim Kerja Rekonsiliasi Nasional Rakyat Papua Barat (TKRNRPB) bahwa sebagai pesta demokrasi rakyat Papua tertinggi, maka momentum Kongres III pada 16 – 19 Oktober 2011 mendatang akan dihadiri oleh representatif rakyat Papua di dalam dan di luar negeri untuk berusaha menyalurkan aspirasinya secara bermartabat dan demokratis melaui mekanisme demokrasi yang dijamin oleh hukum internasional dan konstitusi negara Republik Indonesia.

“Kita harus menjamin kualitas demokrasi, hukum dana produk-produk Kongres Rakyat Papua III agar lebih bermartabat, jujur dan demokratis. Karena itu, diharapkan ada kesepahaman bersama dari semua komponen perjuangan rakyat Papua dan simpatisan – yang akan menjadi peserta, pengamat maupun peninjau yang akan terlibat dalam kongres nanti,” ujar Ketua Pelaksana Kongres Papua III, Selpius Bobii.

Republik Indonesia telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Bangsa Pribumi, dalam Sidang Dewan HAM PBB pada Juni 2006 di Jenewa. Indonesia juga telah menandatangani dokumen yang sama dalam Sidang Umum PBB di New York pada 13 September 2007.

“Dengan demikian, telah jelas negara dan pemerintah Indonesia bukan saja menyetujui atau mendukung Deklarasi PBB, tetapi dengan sendirinya terikat dan berkewajiban serta berkomitmen untuk melaksanakan setiap butir dari Deklarasi PBB tentang Bangsa Pribumi di Indonesia, termasuk Masyarakat Adat Papua”.

Deklarasi PBB tentang Hak-hak Bangsa Pribumi dan UUD 1945 adalah alat juridiksi dan hukum yang wajib dijalankan dengan sungguh-sungguh demi mempromosikan dan memperhatikan hak –hak masyarakat adat Papua, termasuk hak politik. Semua aparat negara dan pemerintah Republik Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tanah Papua wajib menjalankan semua tugas dan tanggungjawab berdasarkan alat juridiksi dan hukum tersebut di atas.

Ketika hak-hak masyarakat adat Papua tidak terpenuhi, maka negara Indonesia melalui pemerintah telah lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak bangsa pribumi maupun UUD 1945.

Proses integrasi Papua ke dalam negara Republik Indonesia, diawali dengan pemakluman Tri Komando Rakyat oleh Presiden RI Soekarno, pada 19 Desember 1961 merupakan suatu tindakan pengabaian dan penganeksasian salah satu hak dasar masyarakat pribumi Papua. Semangat Trikora lebih memperlihatkan ambisi politik penguasaan wilayah Papua, dibanding niat memajukan kesejahteraan rakyat Papua.

Partisipasi orang Papua untuk membangun negerinya sendiri, tidak tampak dalam sejumlah pertemuan antara negara Belanda dan Indonesia, diantaranya Konferensi Malino (Juli 1946), Perjanjian Linggarjati (November 1964), Perjanjian Renville (Januari 1948), Persetujuan Roem – Royen (Mei 1949) dan Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949).

Pengabaian hak politik orang Papua dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969 mengakibatkan reaksi protes secara sporadis di Tanah Papua. Protes-protes yang dilakukan adalah agar ada ruang politik yang lebih terbuka bagi rakyat Papua untuk mengemukakan pendapat mereka secara demokratis dan bebas dari tekanan.

Hingga kini protes terhadap pelaksanaan Pepera masih terus dilakukan. Protes tersebut haruslah disikapi oleh negara Indonesia secara lebih bijaksana, dengan memberikan ruang bagi rakyat Papua untuk menyampaikan aspirasi. Tindakan represif oleh aparat keamanan justru berdampak pada pelanggaran HAM di wilayah Papua.

Sejak menjadi bagian dari NKRI, wilayah Papua cenderung tertutup bagi dunia luar. Rakyat Papua yang berada di tanah Papua hidup di bawah tekanan militer, dan merasa tidak nyaman dalam menjalankan aktifitas. Kebebasan berorganisasi dan berkumpul seringkali dibatasi. Situasi demikian menimbulkan opini di tingkat internasional bahwa demokrasi tidak berkembang di Tanah Papua.

Rakyat Papua tidak memiliki ruang yang memadai untuk menyalurkan pendapat dan kritik mereka terhadap segala kebijakan pembangunan yang berlangsung di tanah Papua. Sikap kritik bersifat membangun yang disampaikan lebih mudah dianggap sebagai tindakan melawan negara. Pembatasan kebebasan politik bukanlah cara yang tepat untuk menyikapi perbedaan di tengah iklim demokrasi yang tengah berkembang di Indonesia.

Undang-undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua diterapkan agar: 1) memberikan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak dasar dalam bidang politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi. 2) penyelesaian pelanggaran HAM dan upaya rekonsiliasi melalui klarifikasi sejarah Papua di dalam NKRI. 3) peningkatan sumberdaya manusia Papua melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan ketenaga-kerjaan. 4) penataan kependudukan, penegakan hukum, dan pembangunan berwawasan lingkungan. 5) penciptaan pemerintah yang baik dan transparan. 6) infrastruktur.

Namun dalam pelaksanaannya, amanat UU RI Nomor 21 Tahun 2001 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Belum ada perubahan signifikan yang bisa dirasakan oleh rakyat Papua selama 10 tahun (2002 – 2011) penerapan kebijakan otonomi khusus di Papua.

Artinya, selama 10 tahun ini pemerintah pusat dan daerah tidak mampu menyejahterakan rakyat Papua sesuai amanat UU Otsus. Padahal, dana yang sudah disetor pemerintah pusat ke Papua sudah mencapai sekira Rp 29 triliyun.

Aksi penolakan atau pengembalian UU Otsus merupakan bukti bahwa otonomi khusus tidak berhasil membangun rakyat Papua. Rakyat Papua sadar bahwa berbagai kebijakan yang selama ini diterapkan di tanah Papua, belum mampu memberikan hasil yang maksimal bagi cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil, demokratis, aman, damai, sejahtera, dan bermartabat. Rakyat Papua menilai bahwa pemerintah Indonesia cenderung bertindak sepihak didalam merumuskan kebijakan pembangunan. Partisipasi rakyat Papua dalam menetapkan kebijakan pembangunan di tanah Papua tidak terlihat.

Pembicara yang diharapkan Tim Kerja Rekonsiliasi Nasional Rakyat Papua Barat hadir dalam Kongres Rakyat Papua III 2011 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Pietter J. Drooglever, Eni Faleonmavaega, mantan Sekjen PBB Koffi Annan, Uskup Mrg. Desmon Tutu, Presiden WCRC (Gereja Reformasi Sedunia), Jerry Pillay, dan Paus Benediktus XVI.

Kepanitiaan Kongres Rakyat Papua III terbagi dalam dua bagian: Steering Committee dan Organizing Committee. Penanggungjawab kongres adalah Kepemimpinan Nasional Papua. Ketua Panitia Pelaksana, Selpius Bobii dan Zakarias Horota sebagai Sekretaris Pelaksanas serta dibantu oleh seksi-seksi. Paniti menargetkan lebih dari lima ribu orang akan hadir jadi peserta Kongres Rakyat Papua III 2011.
`Ini Penjelasan Polisi tentang Insiden Kongres Papua III
Maria Natalia | Aloysius Gonsaga Angi Ebo | Rabu, 9 November 2011 | 21:54 WIB
Dibaca: -
Komentar: -
|
Share:
Lucky Pransiska/KOMPAS Empat Pelanggaran HAM Kongres Rakyat Papua
1

TERKAIT:

* Djoko: Saya Pernah Tak Setujui Kongres Papua III
* Empat Pelanggaran HAM Kongres Rakyat Papua
* Empat Pelanggaran HAM Saat Kongres Rakyat Papua
* Komnas: Ada Pelanggaran HAM oleh Aparat
* Komnas HAM: Konggres Papua III Sesuai Peraturan

JAKARTA, KOMPAS.com - Markas Besar Polri menjelaskan mengenai kronologi peristiwa pembubaran Kongres Rakyat Papua III yang sempat disinyalir oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terdapat pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, sejak awal kongres yang digelar tanggal 17-19 Oktober itu dilakukan tanpa surat pemberitahuan kepada Polda Papua. Selain itu, katanya, kekisruhan berawal ketika penyelenggaraan kongres berlangsung, anggota kepolisian tak diizinkan masuk dalam lokasi kongres. Tempat itu dijaga ketat oleh petugas keamanan kongres.

Ternyata, lanjutnya, dalam kongres itu terdapat tindakan makar dengan adanya rencana pembentukan negara Papua Merdeka. "Ternyata pada penutupan kongres tanggal 19, juga dibacakan deklarasi pembentukan negara Papua Merdeka. Pembentukan transisi dengan adanya Presidennya, menteri, dan segala macam. Ini sudah merupakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu petugas keamanan segera bertindak," jelasnya di Gedung Humas Polri, Rabu (9/11/2011).

Namun, menurut Saud, polisi bertindak hanya sebatas melepaskan tembakan ke atas untuk melakukan pembubaran kongres itu. Polisi juga mengamankan 350 orang yang menjadi peserta dan lima orang ditetapkan sebagai tersangka. "Kemudian sore itu selesai. Tidak ada masalah, tenang dan bubar," lanjutnya.

Lalu bagaimana dengan korban tewas yang disebut Komnas HAM adalah hasil dari perbuatan anggota kepolisian? Saud secara gamblang menjelaskan korban tewas pada 20 Oktober 2011 yang ditemukan pukul 09.00 WIT atas nama Demianus Daniel Kadepa (23), Yakobus Samonsabra (48), dan Max Asa Yeuw (33), bukan tewas akibat perbuatan oknum polisi. Menurutnya ada perbedaan waktu antara proses pembubaran kongres dengan jam ketiga orang itu dibunuh.

"Korban diotopsi dan dari hasil sementara kematian korban diperkirakan delapan jam sebelum ditemukan pada pukul 09.00. Jadi kalau kita berhitung, kita mundur dari jam 9 pagi dikurang delapan, berarti pembunuhan sekitar jam 1 atau jam 2 malam kejadiannya, sedangkan kongres bubar dari siang," dalihnya.

Lalu ketika ditanya mengenai pelaku pembunuhan tiga warga Papua itu, Saud menyatakan pihaknya hingga saat ini masih mencari pelakunya. Menurutnya banyak kelompok bersenjata di Papua sehingga polisi kesulitan mencarinya. Oleh karena itu, Saud meminta publik bersabar untuk mendapatkan perkembangan kasus ini karena polisi juga masih menunggu hasil dari Puslabfor Polri yang melakukan uji balistik terhadap proyektil yang ditemukan di tempat kejadian, serta pelacakan bukti lainnya.

"Kita juga menurunkan tim ke sana untuk melihat TKP gambaran bagaimana kondisinya dan untuk mengetahui penembakan ini kira-kira dari jarak berapa, menggunakan senjata apa. Nanti dilihat dari bukti proyektil di tubuh korban atau bukti lain. Nah inilah tantangan kita. Kita akan coba," tutupnya.

kongres papua 3

http://youtu.be/fxmtYKNim4I

Kontras Kecam Pembubaran Kongres Rakyat Papua
Iwan Santosa | Robert Adhi Ksp | Rabu, 19 Oktober 2011 | 20:07 WIB
|
Share:
IST Papua
1

TERKAIT:

* Indonesian Police Storm Papua Independence Rally
* Lebih dari 100 Orang Ditangkap
* Aparat Bubarkan Kongres Rakyat Papua 3
* Presiden: Keamanan Papua dan Aceh Harga Mati

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI dan Brimob Polda Papua terhadap peserta Kongres Rakyat Papua III di Abepura, Rabu (19/10/2011).

Kordinator Kontras Haris Azhar mengabarkan, sekitar pukul 16.00 Waktu Papua berlangsung penutupan Kongres Rakyat Papua dengan informasi yang beredar via sms menyebutkan keputusan Kongres memilih Presiden Papua: Forkorus Yambosembut, Perdana Menteri : Edison Waromi, bentuk Negara : Republik Federal Papua Barat. Kongres tersebut kemudian diakhiri dengan pembacaan Deklarasi oleh Presiden negara Republik Federal Papua Barat yang terpilih, Forkobus Yambosembut.

"Informasi yang kami terima menyatakan bahwa setelah acara penutupan tersebut, tiba-tiba terdengar suara rentetan yang mengarah ke lokasi pelaksanaan kongres di lapangan sepak bola Sakeus, kampus STFT Padang Bulan Abepura.

Laporan dari saksi di lokasi menyebutkan aparat TNI dari arah bawah lapangan mendekati peserta kongres dan melepaskan tembakan. Lebih dari 1000 orang peserta kongres kemudian lari menyelematkan diri hingga diantaranya ke lokasi seminari tinggi," kata Haris.

Menurut dia, aparat keamanan dari TNI dan Brimob Polda Papua mengejar dan hendak menangkap pelaksana kegiatan Kongres yaitu Selpius Boby dan Forkobus Yambosembut. Aparat Brimob dan TNI menyisir rumah-rumah warga di Padang Bulan, Abepura.

Informasi menyebutkan adanya penangkapan terhadap beberapa orang peserta kongres, mereka dimasukan di mobil baracuda Polisi. Hingga laporan ini dibuat penangkapan telah dilakukan terhadap lebih dari 100 orang warga Papua yang saat ini berada di Polda Papua untuk menjalani pemeriksaan.

Kontras menilai bahwa TNI/Polri telah melakukan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II pasal 28E ayat 3 menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".

Demikian juga dengan UU no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Sipil Politik pasal 21 menyatakan: "Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui.

Tidak ada satu pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak tersebut kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain."

Haris mendesak agar Panglima TNI menarik pasukannya dari wilayah kongres diadakan mengingat keberadaannya tidak mendapatkan keputusan politik DPR dan Kapolri agar menghentikan segala bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum kepada masyarakat dan peserta kongres.

tulisan kelap kelip


<blink>Maxi ogee toyai dogomo</blink>