Kongres Tegakan Hak Orang Asli Papua
User Rating: / 0
KurangBagus
Rubrikasi - Politik
Oleh Rima Making, Alfonsa Wayap
Sabtu, 01 Oktober 2011 05:44
Kongres Ketiga rakyat Papua akan digelar pada Oktober mendatang, dengan tema mari kita menegakkan hak-hak dasar orang asli Papua di masa kini dan masa depan.
DAN sub temanya “membangun pemahaman secara jujur, adil, dan menyeluruh demi penegakan hak-hak dasar orang asli Papua, termasuk hak politik di masa depan yang lebih baik, maju, adil, demokratis, aman, damai, sejahtera, dan bermartabat”.
Kongres ketiga rakyat Papua yang akan dilaksanakan pada 16 – 19 Oktober 2011 mendatang merupakan bagian dari proses pendemokratisasi di Indonesia, yang dijamin oleh hukum internasional dan nasional Indonesia.
Kongres rakyat Papua juga sebagai upaya pemenuhan hak azasi manusia dari setiap warga negara Indonesia. Dalam hukum HAM, negara melalui pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban. Ada tiga bentuk kewajiban yang diemban negara dalam memenuhi hak demokrasi setiap warga negara adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi.
Kewajiban untuk menghormati adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi. Kewajiban negara untuk melindungi adalah kewajiban untuk melindungi hak. Dalam hal ini kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan negara. Kewajiban untuk memenuhi adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM.
Menurut Tim Kerja Rekonsiliasi Nasional Rakyat Papua Barat (TKRNRPB) bahwa sebagai pesta demokrasi rakyat Papua tertinggi, maka momentum Kongres III pada 16 – 19 Oktober 2011 mendatang akan dihadiri oleh representatif rakyat Papua di dalam dan di luar negeri untuk berusaha menyalurkan aspirasinya secara bermartabat dan demokratis melaui mekanisme demokrasi yang dijamin oleh hukum internasional dan konstitusi negara Republik Indonesia.
“Kita harus menjamin kualitas demokrasi, hukum dana produk-produk Kongres Rakyat Papua III agar lebih bermartabat, jujur dan demokratis. Karena itu, diharapkan ada kesepahaman bersama dari semua komponen perjuangan rakyat Papua dan simpatisan – yang akan menjadi peserta, pengamat maupun peninjau yang akan terlibat dalam kongres nanti,” ujar Ketua Pelaksana Kongres Papua III, Selpius Bobii.
Republik Indonesia telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Bangsa Pribumi, dalam Sidang Dewan HAM PBB pada Juni 2006 di Jenewa. Indonesia juga telah menandatangani dokumen yang sama dalam Sidang Umum PBB di New York pada 13 September 2007.
“Dengan demikian, telah jelas negara dan pemerintah Indonesia bukan saja menyetujui atau mendukung Deklarasi PBB, tetapi dengan sendirinya terikat dan berkewajiban serta berkomitmen untuk melaksanakan setiap butir dari Deklarasi PBB tentang Bangsa Pribumi di Indonesia, termasuk Masyarakat Adat Papua”.
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Bangsa Pribumi dan UUD 1945 adalah alat juridiksi dan hukum yang wajib dijalankan dengan sungguh-sungguh demi mempromosikan dan memperhatikan hak –hak masyarakat adat Papua, termasuk hak politik. Semua aparat negara dan pemerintah Republik Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tanah Papua wajib menjalankan semua tugas dan tanggungjawab berdasarkan alat juridiksi dan hukum tersebut di atas.
Ketika hak-hak masyarakat adat Papua tidak terpenuhi, maka negara Indonesia melalui pemerintah telah lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak bangsa pribumi maupun UUD 1945.
Proses integrasi Papua ke dalam negara Republik Indonesia, diawali dengan pemakluman Tri Komando Rakyat oleh Presiden RI Soekarno, pada 19 Desember 1961 merupakan suatu tindakan pengabaian dan penganeksasian salah satu hak dasar masyarakat pribumi Papua. Semangat Trikora lebih memperlihatkan ambisi politik penguasaan wilayah Papua, dibanding niat memajukan kesejahteraan rakyat Papua.
Partisipasi orang Papua untuk membangun negerinya sendiri, tidak tampak dalam sejumlah pertemuan antara negara Belanda dan Indonesia, diantaranya Konferensi Malino (Juli 1946), Perjanjian Linggarjati (November 1964), Perjanjian Renville (Januari 1948), Persetujuan Roem – Royen (Mei 1949) dan Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949).
Pengabaian hak politik orang Papua dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969 mengakibatkan reaksi protes secara sporadis di Tanah Papua. Protes-protes yang dilakukan adalah agar ada ruang politik yang lebih terbuka bagi rakyat Papua untuk mengemukakan pendapat mereka secara demokratis dan bebas dari tekanan.
Hingga kini protes terhadap pelaksanaan Pepera masih terus dilakukan. Protes tersebut haruslah disikapi oleh negara Indonesia secara lebih bijaksana, dengan memberikan ruang bagi rakyat Papua untuk menyampaikan aspirasi. Tindakan represif oleh aparat keamanan justru berdampak pada pelanggaran HAM di wilayah Papua.
Sejak menjadi bagian dari NKRI, wilayah Papua cenderung tertutup bagi dunia luar. Rakyat Papua yang berada di tanah Papua hidup di bawah tekanan militer, dan merasa tidak nyaman dalam menjalankan aktifitas. Kebebasan berorganisasi dan berkumpul seringkali dibatasi. Situasi demikian menimbulkan opini di tingkat internasional bahwa demokrasi tidak berkembang di Tanah Papua.
Rakyat Papua tidak memiliki ruang yang memadai untuk menyalurkan pendapat dan kritik mereka terhadap segala kebijakan pembangunan yang berlangsung di tanah Papua. Sikap kritik bersifat membangun yang disampaikan lebih mudah dianggap sebagai tindakan melawan negara. Pembatasan kebebasan politik bukanlah cara yang tepat untuk menyikapi perbedaan di tengah iklim demokrasi yang tengah berkembang di Indonesia.
Undang-undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua diterapkan agar: 1) memberikan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak dasar dalam bidang politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi. 2) penyelesaian pelanggaran HAM dan upaya rekonsiliasi melalui klarifikasi sejarah Papua di dalam NKRI. 3) peningkatan sumberdaya manusia Papua melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan ketenaga-kerjaan. 4) penataan kependudukan, penegakan hukum, dan pembangunan berwawasan lingkungan. 5) penciptaan pemerintah yang baik dan transparan. 6) infrastruktur.
Namun dalam pelaksanaannya, amanat UU RI Nomor 21 Tahun 2001 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Belum ada perubahan signifikan yang bisa dirasakan oleh rakyat Papua selama 10 tahun (2002 – 2011) penerapan kebijakan otonomi khusus di Papua.
Artinya, selama 10 tahun ini pemerintah pusat dan daerah tidak mampu menyejahterakan rakyat Papua sesuai amanat UU Otsus. Padahal, dana yang sudah disetor pemerintah pusat ke Papua sudah mencapai sekira Rp 29 triliyun.
Aksi penolakan atau pengembalian UU Otsus merupakan bukti bahwa otonomi khusus tidak berhasil membangun rakyat Papua. Rakyat Papua sadar bahwa berbagai kebijakan yang selama ini diterapkan di tanah Papua, belum mampu memberikan hasil yang maksimal bagi cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil, demokratis, aman, damai, sejahtera, dan bermartabat. Rakyat Papua menilai bahwa pemerintah Indonesia cenderung bertindak sepihak didalam merumuskan kebijakan pembangunan. Partisipasi rakyat Papua dalam menetapkan kebijakan pembangunan di tanah Papua tidak terlihat.
Pembicara yang diharapkan Tim Kerja Rekonsiliasi Nasional Rakyat Papua Barat hadir dalam Kongres Rakyat Papua III 2011 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Pietter J. Drooglever, Eni Faleonmavaega, mantan Sekjen PBB Koffi Annan, Uskup Mrg. Desmon Tutu, Presiden WCRC (Gereja Reformasi Sedunia), Jerry Pillay, dan Paus Benediktus XVI.
Kepanitiaan Kongres Rakyat Papua III terbagi dalam dua bagian: Steering Committee dan Organizing Committee. Penanggungjawab kongres adalah Kepemimpinan Nasional Papua. Ketua Panitia Pelaksana, Selpius Bobii dan Zakarias Horota sebagai Sekretaris Pelaksanas serta dibantu oleh seksi-seksi. Paniti menargetkan lebih dari lima ribu orang akan hadir jadi peserta Kongres Rakyat Papua III 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar